Guru dan Menulis

Kelemahan siswa dalam menulis telah lama dikeluhkan oleh guru, terutama guru Bahasa Indonesia. Baik menulis fiksi maupun nonfiksi. Padahal, pelajaran menulis telah dikenalkan kepada anak sejak awal memasuki jenjang persekolahan, bahkan sebelumnya. Namun, seiring berkembangnya usia anak dan meningkatnya jenjang pendidikan, ternyata kemampuan menulis tidak menunjukkan perkembangan yang berarti. Bahkan untuk mengerjakan tugas (menulis) pun, siswa terlihat begitu kesulitan bahkan terkesan malas untuk mengerjakan.

Hanya dua dari tiga puluh empat orang siswa yang mengangkat tangan ketika ditanya siapa di antara mereka yang suka menulis. Begitupun ketika di kelas lain diajukan pertanyaan yang sama, hanya dua sampai empat orang yang menyatakan suka menulis. Ketika siswa ditugaskan untuk menulis, sebagian dari mereka menunjukkan keengganannya dengan keluhan, ”Yaa menulis?” Sangat sedikit siswa yang tampaknya menyenangi kegiatan menulis. Beberapa siswa mengatakan bahwa kegiatan menulis membosankan dan tidak menyenangkan, sementara yang lain mengatakan menulis itu sulit.

Kelemahan menulis pada siswa ini tentu tak bisa sepenuhnya kesalahan siswa. Sebab, bila mau jujur, kelemahan menulis ini juga terjadi pada guru, yang notabene selama ini sering memberi tugas menulis kepada siswa. Kelemahan guru dalam menulis ini tampak ketika guru-guru tadi diminta menunjukkan hasil tulisan yang pernah mereka buat selama ini. Mereka pasti terperangah dan baru menyadari bahwa mereka sendiri hampir tidak pernah membuat tulisan, kecuali menulis soal atau ringkasan materi yang akan diajarkan. Bila memang demikian, lantas, mengapa guru harus mengeluhkan kemampuan siswa, sementara guru sendiri tak mampu menjadi contoh bagi siswa?

Untuk menutupi kelemahan tersebut, beberapa guru sempat berkelit dengan balik bertanya: “Apakah seorang guru harus mengalami sendiri apa yang diajarkan?” Misalnya: haruskah untuk menerangkan keadaan negara atau benua lain, seorang guru geografi harus berkelana keliling dunia? Demikian pula untuk menjelaskan peristiwa sejarah Serangan Umum 1 Maret 1949, apakah seorang guru sejarah harus mengalami sendiri peristiwa tersebut? Bila memang begitu, tentu yang repot adalah guru agama yang harus menerangkan tentang surga atau neraka. Apakah guru agama ini juga harus menjenguk surga atau neraka terlebih dahulu?

Secara sepintas alasan tersebut memang logis. Namun, ada perbedaan mendasar yang harus dipahami. Perbedaannya adalah pada guru bahasa, mereka dituntut kompetensi terkait langsung dengan pribadi guru, dalam hal ini adalah keterampilan reseptif dan keterampilan produktif. Sedangkan pada guru lain, tidak dituntut keterampilan sebagaimana yang dimaksud. Dalam hal ini, perlu dibedakan antara keterampilan kebahasaan guru dan pengalaman empirik.

Nah, berkaitan dengan kegiatan menulis, seorang guru bahasa hendaknya bisa menjadi contoh bagi siswa. Untuk itu, mau tidak mau, guru pun dituntut untuk meningkatkan kemampuan menulis. Tulisan guru dapat dijadikan contoh atau model menulis bagi siswa. Di samping itu, dengan melakukan sendiri kegiatan menulis, guru akan memiliki empati terhadap siswa, merasakan kesulitan sebagaimana yang dialami siswa. Sebagian besar guru bahasa kita memang seringkali bisa menyampaikan beragam teori, tetapi tidak dapat melakukan atau menerapkan teori yang disampaikan itu. Misalnya, para guru sangat mahir menyampaikan teori tentang menulis deskripsi, eksposisi, argumentasi, menyusun karya ilmiah yang baik, juga bagaimana cara menulis puisi atau cerpen yang bagus. Namun, yang sering dilupakan adalah guru kurang bahkan tidak mengembangkan keterampilan produktif tersebut secara konsisten dan terus menerus. Bila guru senang menulis, tentu akan memotivasi siswa untuk senang menulis pula.

Jadi, sungguh naif bila masih ada guru bahasa yang dalam sejarah keguruannya tidak pernah dapat menghasilkan tulisan, baik karya tulis ilmiah maupun puisi, cerpen dan esei, tetapi guru ini tetap bisa percaya diri mengajar di hadapan para siswa tanpa merasa punya beban moral atau pikiran untuk mengasah keterampilan menulisnya. Semoga guru bahasa yang demikian sudah tidak ada. ##

7 responses to “Guru dan Menulis

  1. Betul sekali bahwa guru harus bisa dan biasa menulis, karena dengan menulis merupakan salah satu mata pedang bagi seorang guru untuk membabat habis kebodohan.

  2. hehe itu juga yang saya rasakan bu, ketika masih duduk di bangku SMA =)

    bisa jadi kemampuan dan minat menulis seorang siswa itu erat kaitannya dgn minat dalam membaca. Semakin dia gemar membaca maka biasanya semakin minat ia menulis….

    dulu wkt SMA sy juga malas nulis Bu =), tapi begitu duduk di bangku kuliah, dgn tuntukan banyak membaca referensi u/ tugas kuliah dll. mau tidak mau saya harus menulis dan akhirnya sekrg jadi ketagihan dech buat nulis ^^

    hal yg paling saya ingat ketika duduk di bangku SMA adlah ketika Bu Bekti memberi tugas makalah kelompok ttg “Fre Sex dikalangan Remaja”

    sebenarnya sejak itulah sy mulai tertarik u/ menulis….*waktu itu saya paling semangat loh Bu buat ngerjain tugas heheheh

  3. Ping-balik: Kebangkitan Minat Menulis, Siswa Berkaca pada Guru « ruang imaji

  4. Ping-balik: Kebangkitan Menulis, Siswa Berkaca pada Guru « Blokdhe Banyumanik

Tinggalkan Balasan ke anon Batalkan balasan