Guru Profesional = Guru 24 Jam

guru mengajarMeski tertunda, akhirnya bulan ini tunjangan profesi pendidik (TPP) untuk triwulan pertama tahun 2014 dapat dinikmati oleh sebagian besar guru yang telah memiliki sertifikat profesi. Para guru tentu dapat bernapas lega karena apa yang menjadi hak mereka telah dibayarkan oleh pemerintah. Hanya saja, tidak semua guru yang telah memiliki sertifikat profesi bisa mendapatkan TPP. Hal ini terjadi karena terbentur oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pasal 35 ayat (2) yang menyatakan bahwa beban kerja guru mengajar sekurang-kurangnya 24 jam dan sebanyak-banyaknya 40 jam tatap muka per minggu untuk mendapatkan TPP tersebut.

Di lapangan, tidak semua guru berada pada kondisi ideal dengan beban mengajar minimal 24 jam tatap muka per minggu. Hal itu bisa terjadi karena di satu sekolah terdapat beberapa guru yang mengampu mata pelajaran sejenis yang menyebabkan guru harus berbagi dengan rekan guru yang lain. Pada awal pelaksanaannya, pembagian jam ini tidak begitu menjadi masalah karena belum semua guru bersertifikat profesi, sehingga guru yang belum bersertifikat jam mengajarnya bisa dikalahkan atau diminimalkan. Dengan demikian, guru yang bersertifikat diutamakan memperoleh minimal 24 jam, sisa jam yang ada diberikan kepada guru yang belum bersertifikat.

Namun, ketika di sekolah hampir semua guru sudah bersertifikat, keadaan menjadi lain. Perebutan jam mengajar terjadi hampir di semua sekolah. Sesama guru bisa saling ’mangsa’, agar mendapatkan 24 jam mengajar. Sementara tidak ada kriteria khusus yang dapat digunakan untuk menentukan guru mana yang diutamakan mendapat 24 jam mengajar. Aspek senioritas serta ’like and dislike’, juga status kepegawaian lebih dikedepankan. Karena itu, ada guru yang harus terpaksa mengalah memberikan jam pelajaran pada guru lain demi ketercapaian pemenuhan jam mengajar.

Pemenuhan jam mengajar 24 jam per minggu kini menjadi target utama para guru. Segala upaya akan ditempuh, walaupun harus ’ngamen’ ke sekolah-sekolah lain agar dapat pemenuhan 24 jam mengajar. Kalau dulu guru stress karena diberikan beban yang banyak, sekarang agak terbalik banyak guru kalang kabut ketika tidak mendapatkan jatah mengajar minimal 24 jam di sekolahnya. Para guru sangat paham bahwa arti 24 jam mengajar adalah 1 kali gaji pokok.

Bila dicermati, peraturan wajib mengajar minimal 24 jam per minggu bagi guru profesional ini sesungguhnya terkesan amat naif karena ternyata penilaian profesionalitas guru sebatas besaran jam mengajar. Artinya, guru profesional sama dengan guru 24 jam. Hal ini justru menjadikan guru seperti kuli, makin banyak jam kerjanya, semakin banyak pula upahnya. Dan menjadi pembenaran bahwa yang dimaksud guru profesional hanyalah memenuhi kaidah “transaksional”. Tuntutan mengajar 24 jam per minggu juga menunjukkan bahwa keprofesionalan guru lebih dilihat pada aspek kuantitas, bukan kualitas. Penilaian kinerja guru sampai saat ini tak pernah jelas. Penilaian terhadap guru selama ini juga teramat absurd karena lebih menekankan pada aspek administratif dibandingkan dengan aspek kompetensi mengajar. Guru dianggap baik manakala sudah mengumpulkan perangkat administratif dibandingkan penilaian kinerja dan kompetensi guru terutama saat mengajar di hadapan peserta didiknya.

Pada akhirnya, tuntutan jam mengajar ini juga membelenggu guru untuk dapat menumpahkan kreativitas dan inovasinya dalam mengajar. Pembelajaran di kelas menjadi kering. Peserta didik sebagai konsumen yang wajib mendapat layanan maksimal menjadi sering terabaikan. Keprofesionalan guru yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas pendidikan pun akhirnya semakin kabur dan tak bisa diukur. Sebab, kenyatannya keprofesionalan guru hanya diukur sebatas jumlah jam mengajar. Salam.##

Menakar Kembali Semangat Pengabdian Guru

ngajar Beberapa tahun lalu, bila bercerita tentang guru, yang tergambar adalah sosok yang sederhana, yang mengemban tugas sangat mulia, yaitu mendidik dan mencerdaskan anak-anak bangsa. Sederhana, karena kehidupan guru identik dengan kehidupan yang sangat pas-pasan. Gaji guru waktu itu memang kurang memenuhi standar kehidupan yang layak. Terlebih bila dibandingkan dengan tugasnya yang begitu mulia. Keberadaan guru selalu penuh dengan ironi yang memprihatinkan, hidup pas-pasan dan terkadang harus terseok-seok menghidupi diri dan keluarganya. Oleh karena itu, sebutan “pahlawan tanpa tanda jasa” menjadi gelar yang begitu melekat pada sosok guru.

Seiring dengan perjalanan waktu, perlahan-lahan kehidupan guru mulai berubah. Ironi itu perlahan namun pasti mulai dipupus pemerintah lewat alokasi anggaran negara untuk sektor pendidikan melalui program sertifikasi guru. Melalui program sertifikasi guru ini, diharapkan guru mampu memenuhi kebutuhan dasar mereka, sehingga para guru bisa lebih fokus menggeluti profesinya tanpa harus terganggu mencari pekerjaan sampingan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kini, kehidupan guru telah menjadi sangat sejahtera. Jika dulu guru berjalan dalam kesunyian, kini guru berjalan dengan tubuh tegak berdiri.

Upaya meningkatkan kesejahteraan guru sungguh merupakan usaha yang mulia. Sayangnya, begitu banyak guru yang belum selesai dengan dirinya. Ketika pemerintah terus menaikkan gaji dan memberikan beragam tunjangan, para guru tergagap-gagap hingga mabuk. Mereka menjadi limbung karena panggilan jiwa sebagai pendidik telah kosong, jiwa mereka kian kerontang. Keprihatinan hidup yang cukup panjang karena gaji kecil membuat para guru menjadi dahaga uang. Akhirnya, guru hanya dimaknai sebagai sebuah pekerjaan, sebuah profesi. Guru sebagai pekerjaan yang identik dengan pengabdian kini menjadi tema usang dan bahan olok-olokan.

Ternyata tak cukup niat baik menyejahterakan guru dengan terus meningkatkan gaji dan tunjangan. Penerapan kebijakan itu membuat sejumlah guru pun bertindak tanpa nurani. Demi meraup uang, mereka tak peduli nasib rekan sejawat. Tak ada lagi solidaritas antarsesama guru. Ketika nafsu untuk meraup uang kian bergelora, sejumlah guru bahkan menjadi berubah karakter, dari abdi menjadi budak. Segala yang dikerjakannya harus diberi upah. Niat awal meningkatkan kesejahteraan agar guru kian bermartabat, kini justru berubah menjadi menghancurkan martabat guru sendiri.

Guru memang membutuhkan pendapatan yang layak. Namun, guru tak boleh berangkat dari situ. Guru lebih tinggi derajatnya bila hanya dibandingkan dengan ukuran materi. Guru adalah pelita kehidupan. Ia hanya bisa menjadi penerang kehidupan bila ada “nyala” dalam jiwanya. Ini akan terjadi ketika hidupnya ditautkan pada panggilan jiwanya sebagai pendidik. Menjadi guru merupakan aktivitas pengabdian dan kepahlawanan yang sangat mulia. Apabila niat menjadi guru sudah benar, maka materi akan dengan sendirinya mengikuti. Sebagaimana kalimat Pak Harfan, Kepala Sekolah dalam novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata yang mengatakan “Hiduplah untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya.”  Kata-kata Pak Harfan ini kiranya dapat menggugah kembali semangat pengabdian guru dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik. Menyalakan kembali jiwanya sehingga dapat menjadi pencerah generasi bangsa. SELAMAT HARI GURU. Salam.##