Peran Teknologi dalam Mendukung Pendidikan di Era Revolusi Industri 4.0

Saat ini dunia telah memasuki era revolusi industri generasi ke empat atau yang lebih dikenal dengan Revolusi Industri 4.0. Di era ini perkembangan teknologi digital mengalami peningkatan yang sangat pesat. Hal ini diikuti dengan meningkatnya konektivitas, interaksi serta perkembangan sistem digital, kecerdasan artifisial, dan visual. Teknologi digital mempengaruhi dan mengubah hampir seluruh aspek kehidupan sehari-hari manusia. Bahkan dapat dikatakan kehidupan masyarakat saat ini tidak dapat terlepas dari teknologi digital.

Disadari atau tidak, perkembangan teknologi digital telah menyentuh hampir seluruh aktivitas manusia, tak terkecuali bidang pendidikan. Sebagaimana diketahui, pendidikan berperan penting dalam menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas guna menghadapi tantangan zaman yang terus berubah. Karena itu, pendidikan yang diwujudkan dengan pembelajaran yang berkualitas mutlak dikembangkan karena keberhasilan pembelajaran merupakan tujuan utama dalam proses pendidikan. Upaya yang dapat dilakukan dalam mencapai tujuan pendidikan adalah dengan mendesain proses pembelajaran yang tepat daya, tepat sasar, serta berdampak pada peningkatan kompetensi siswa.

Di era revolusi industri 4.0 yang diserbu dengan derasnya perkembangan teknologi menjadikan pemanfaatan teknologi dalam bidang pendidikan menjadi hal yang tidak bisa diabaikan. Pendidikan di era revolusi industri 4.0 mau tidak mau harus mampu menyesuaikan dengan perkembangan teknologi. Pendidikan harus mampu berinovasi dengan memanfaatkan teknologi sebagai usaha meningkatkan mutu pendidikan, terutama penyesuaian penggunaan teknologi informasi dan komunikasi bagi dunia pendidikan khususnya dalam proses pembelajaran. Pemanfaatan teknologi dapat dioptimalkan untuk mendukung pembelajaran sehingga pembelajaran yang berkualitas dapat dicapai. Sebagai contoh, munculnya berbagai sumber belajar berbasis daring seperti perpustakaan daring, pembelajaran daring, kamus digital, bahkan diskusi yang saat ini dapat dilakukan secara daring dengan tujuan peningkatan kualitas pembelajaran. Merebaknya berbagai fitur ataupun platform yang menunjang pembelajaran merupakan peluang besar bagi dunia pendidikan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan dengan mengkombinasikan strategi mengajar dengan memanfaatkan perkembangan teknologi.

Di samping itu, siswa atau generasi sekarang sangat dekat dengan teknologi sehingga teknologi dapat digunakan sebagai pintu masuk dan sarana pembelajaran. Teknologi telah menjadi kebutuhan dan gaya hidup mereka. Siswa sudah terbiasa dengan arus informasi dan teknologi industri 4.0. Ini menunjukkan bahwa produk pendidikan yang diluluskan harus mampu menjawab tantangan industri 4.0 yang mencetak dan menghasilkan generasi-generasi berkualitas yang akan mengisi revolusi industri 4.0. Oleh karena itu, kehadiran teknologi yang diperkaya dengan inovasi pembelajaran akan sangat membantu proses pembelajaran antara guru dengan siswa. Kehadiran teknologi untuk menunjang pembelajaran dapat digunakan oleh guru dan siswa untuk mengeksplorasi berbagai sumber belajar. Di samping itu, aplikasi pembelajaran juga menampilkan fitur-fitur yang menarik sehingga dapat meningkatkan motivasi belajar siswa.

Kehadiran teknologi dirasakan sangat membantu dalam mendukung kegiatan pendidikan dan pembelajaran di era ini. Optimalisasi pemanfaatan teknologi sebagai penunjang pendidikan diharapkan mampu memberikan hasil yang dapat mengikuti perkembangan dan membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Sebagai contoh, pandemi Covid-19 yang melanda dunia, termasuk Indonesia, telah membuka mata betapa teknologi benar-benar sangat mendukung dunia pendidikan. Teknologi tatap muka virtual dapat membantu berlangsungnya proses pembelajaran antara guru dan siswa. Keterhubungan antara guru dan siswa dapat dijembatani oleh teknologi sehingga interaksi antara guru dan siswa tidak terputus meskipun tidak dapat bertatap muka secara langsung.

Contoh lain pemanfaatan teknologi dalam mendukung bidang pendidikan, khususnya pembelajaran, adalah adanya laboratorium maya atau virtual. Laboratorium virtual ini dapat menjadi alternatif guru dan siswa untuk tetap bisa melakukan eksperimen sewaktu-waktu sesuai kebutuhan. Selain lebih murah dan terjangkau, laboratorium maya juga lebih aman bagi siswa sebagai pengguna. Keuntungan pemanfaatan laboratorium maya ini antara lain (1) lebih ekonomis karena tidak membutuhkan bangunan laboratorium, alat-alat dan bahan- bahan seperti pada laboratorium konvensional; (2) menambah motivasi dalam proses belajar mengajar; (3) siswa mempunyai keterampilan pemecahan masalah dan kemampuan berpikir tingkat tinggi dalam pembelajaran ataupun dalam permasalahan sehari-hari.

Dukungan teknologi dalam bidang pendidikan juga hadir dalam bentuk pemanfaatan LMS (Learning Management System). LMS berbasis internet tidak hanya bermanfaat bagi orang tua saja dalam memantau pendidikan anaknya, tetapi juga bagi pihak lembaga pendidikan seperti sekolah atau kursus, tim pengajar, maupun siswa. Sebab, pihak sekolah bisa secara real-time mengawasi seluruh aktivitas belajar mengajar untuk dijadikan bahan evaluasi guna meningkatkan mutu pendidikan. Bagi tim pengajar atau guru, platform ini bisa membantu untuk meningkatkan efektivitas belajar melalui pemberian tugas dan konsultasi. Sementara bagi siswa, mereka akan lebih bersemangat belajar karena menggunakan teknologi modern.

Tentunya masih banyak contoh-contoh lain yang menunjukkan keberadaan teknologi dalam mendukung pembelajaran dan pendidikan. Pemanfaatan teknologi dalam bidang pendidikan menjadikan keterbatasan ruang dan waktu bukan lagi menjadi persoalan. Siswa dan guru dapat leluasa mengeksplorasi ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya kapan pun dan di mana pun. Penggunaan teknologi sebagai inovasi media dalam pembelajaran juga memberikan banyak manfaat lainnya seperti menambah informasi, meningkatkan kemampuan belajar, memudahkan akses belajar, membuat materi pelajaran lebih menarik, serta meningkatkan minat belajar peserta didik.

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran pada revolusi industri 4.0 adalah sebuah keharusan. Teknologi berperan penting dalam kegiatan pembelajaran pada era serba digital. Teknologi dan informasi dalam pembelajaran bukan hanya sekedar pelengkap pembelajaran, namun menjadi hal utama dalam proses pembelajaran di era revolusi industri 4.0. Pembelajaran menggunakan teknologi dan informasi membuat pembelajaran menjadi lebih efektif karena selalu update dengan informasi terkini. Siswa dapat mempelajari materi lebih luas lagi dengan berbagai referensi dan sumber belajar yang ada. Inovasi teknologi di bidang pendidikan berguna untuk mendukung pembelajaran yang sangat dibutuhkan pada era revolusi industri 4.0 sehingga dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia agar mampu bersaing di kancah global. Salam.##

Kata kunci: Universitas Tanjungpura, Revolusi Industri 4.0

Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Blog Universitas Tanjungpura 2022.
Pengumuman hasil Lomba Blog 2022 Universitas Tanjungpura di sini

Guru: Pembelajar Sepanjang Hayat

..

Pada hakikatnya, belajar tidak pernah mengenal batasan usia. Dan belajar sepanjang hayat memang sudah menjadi paradigma universal. Dengan demikian, konsep belajar tanpa henti pun sebetulnya juga harus berlaku untuk guru.

Sayangnya, masih ada guru-guru di negeri ini yang ‘mengidap’ penyakit malas belajar. Alasannya bisa bermacam-macam. Ada guru yang terlalu merasa jumawa hingga menganggap ilmunya sudah cukup untuk keperluan mengajar. Ada pula yang menganggap belajar merupakan kewajiban para murid semata. Ada juga yang merasa sudah tua sehingga tidak perlu lagi belajar, dan lain-lain. Pada titik ini, ego guru diakui sangat besar.

Lalu, ada juga guru yang berasumsi bahwa belajar itu sama dengan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Kalau sudah begitu maka ada kalkulasi lain yang tidak bisa dihindari antara uang, waktu, tenaga dan pikiran. Persepsi sempit seperti itu akan menyebabkan kesalahan pola pikir. Belajar akan dianggap mendatangkan beban baru. Padahal, kenyataannya tidak selalu demikian, meski prinsip melanjutkan pendidikan pun sesungguhnya sangat baik bagi peningkatan mutu guru, karena muaranya adalah demi meningkatnya kualitas proses belajar dan mengajar.

Memang, pemerintah selalu mendorong para guru yang masih berlatar belakang pendidikan sarjana untuk melanjutkan ke program magister. Akan tetapi, jika kita kembali ke persoalan kalkulasi yang tidak bisa dihindari tadi, seperti yang kita ketahui, kesejahteraan guru belum baik. Masih banyak guru yang mesti susah payah memutar otak untuk mencari tambahan penghasilan di samping mengajar. Fenomena seperti ini cukup banyak ditemukan di kalangan guru-guru swasta atau honorer.

Adanya program sertifikasi guru, taraf hidup guru relatif semakin mengalami perbaikan. Setidak-tidaknya dana yang masuk secara berkala ke rekening para guru berlabel profesional setelah lulus sertifikasi bisa dialokasikan untuk kebutuhan belajar, seperti mengikuti pelatihan, seminar, atau lokakarya.

Selain itu, sebagian besar guru-guru di Indonesia juga sudah memiliki gawai atau ponsel pintar. Belajar dengan memanfaatkan gawai sudah menjadi tren di masa kini. Lewat internet ada begitu banyak hal yang bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan referensi, alat peraga ajar atau video pembelajaran. Semuanya berpulang kepada guru-guru sendiri, apakah mereka mau memanfaatkan kesempatan itu atau tidak.

Apalagi tantangan guru sekarang semakin berat. Dulu, guru boleh berbangga hati karena didaulat sebagai satu-satunya sumber untuk mencari ilmu pengetahuan. Maka tak heran jika keberadaan guru menerangkan di depan kelas menjadi begitu bernilainya bagi murid dan orang tua. Sekali saja murid absen, dia dan orang tuanya akan merasa begitu rugi seperti telah kehilangan barang yang sangat mahal nilainya.

Pendeknya, guru di masa lalu ibarat bintang film yang penampilannya selalu dinanti-nantikan. Guru punya kekuatan dan dominasi. Murid-murid yang tidak disiplin, nakal, dan malas belajar sah-sah saja untuk dijewer telinganya, dipukul betisnya atau disuruh berdiri angkat kaki sebelah di depan kelas. Dan menariknya, murid-murid tidak protes atau berusaha mengadu ke orang tua. Sebab mengadu berarti mendapat dua kali hukuman. Orang tua juga demikian. Hukuman yang diberikan terhadap anak-anak mereka dianggap sebagai pelecut semangat untuk belajar lebih giat dan lebih disiplin.

Berbeda dengan di masa sekarang. Guru harus berpacu. Berpacu dengan murid, berpacu dengan orang tua, berpacu dengan teknologi dan berpacu dengan tekanan. Guru tidak bisa lagi menganggap dirinya sebagai seseorang yang maha tahu (knowing everything). Sewaktu-waktu murid bisa melakukan cek dan ricek lewat gawai ponsel pintarnya. Sedikit kesalahan yang dilakukan oleh guru dalam materi ajarnya bisa mendapat sorotan tajam dari orang tua. Pada titik itu, kredibilitas dan kemampuan guru dalam mengajar akan mulai diragukan dan bisa jadi malah tidak dipercayai lagi.

Untuk itu guru mutlak harus membuka diri untuk senantiasa belajar. Kegiatan pembelajaran merupakan hal yang dinamis dan kompleks. Ini sama dengan prinsip ilmu pengetahuan yang terus mengalami perubahan. Demikian halnya dengan karakter peserta didik yang selalu berbeda dari satu generasi ke generasi. Guru, apalagi yang sudah menggeluti profesi mengajar selama puluhan tahun, tidak boleh memandang murid di era kekinian dengan murid sepuluh atau dua puluh tahun lalu lewat kacamata yang sama.

Sekalipun telah menjadi guru, tetap saja guru adalah pembelajar sepanjang hayat. Untuk bisa mengajarkan pengetahuan yang sejati, guru dituntut untuk terus menerus belajar. Ilmu pengetahuan pun terus berkembang tidak pernah stagnan. Maka, tidak ada lagi alasan seorang guru untuk berhenti karena lelah mengeksplorasi diri. Artinya, seorang guru harus terus belajar mengerahkan segala potensi dan kelebihannya, salah satunya yaitu belajar dan mempelajari seluruh aspek tentang pendidikan, belajar kepada sesama guru, peserta didik, dan kepada semua kalangan.

Belajar sepanjang hayat adalah konsep yang sudah menjadi umum bagi siapa saja. Dalam agama juga sudah diajarkan bahwa kewajiban menuntut ilmu (belajar) itu dimulai sejak dalam ayunan (sedari bayi) hinggalah ke liang lahad (mati) Tidak ada di antara kita yang menyangkal pernyataan ini.

Bagi seorang guru, konsep itu pun harus berlaku. Artinya tidak ada kata berhenti belajar bagi seorang guru. Guru wajib terus berguru alias belajar lagi. Jangan karena sudah berstatus guru, atau merasa sudah menjadi guru profesional karena mendapat sertifikat profesi, lalu berhenti belajar. Ini pandangan keliru. Guru memang harus terus berguru. Bahkan ada ungkapan Guru yang malas belajar sebaiknya berhenti mengajar.

Guru berguru adalah untuk menjaga dan mempertahankan eksistensi guru itu sendiri. Guru memang harus terus memperbaharui ilmu dan kompetensinya jika ingin bertahan dalam status gurunya. Sebagai manusia yang digugu dan ditiru, artinya guru wajib selalu memliki sesuatu yang dapat dicontohteladani orang lain. Bukan saja murid-murid yang terus mencotoh guru, bahkan masyarakat umum pun akan cenderung dan berusaha mencontoh guru.

Di era teknologi saat ini, kebutuhan untuk belajar banyak tersedia. Bahkan pemerintah, melalui Kemendikbudristek menyediakan berbagai platform belajar untuk guru, seperti Rumah Belajar, Guru Belajar an Berbagai, Merdeka Mengajar, dan sebagainya. Tentunya upaya pemerintah ini akan tersia-siakan jika guru bersikap masa bodoh. Ketika mengajak guru untuk belajar menambah ilmu pengetahuan, sering terdengar jawaban, “Wah, saya sibuk. Wah, saya banyak pekerjaan. Wah, saya sudah menjadi guru professional. Wah, saya sudah menjadi kepala sekolah. Wah, saya sudah naik pangkat. Dengan begini saja, saya sudah mendapatkan impian saya. Mengapa saya mesti belajar lagi?” Itulah jawaban yang barangkali yang sering terdengar.

Para pendidik sudah lupa bahwa zaman sudah berubah. Anak didik sudah mahir untuk mencari pengetahuan meskipun anak didik tidak berada di sekolah. Anak didik sudah mahir mendebat gurunya jika mereka menemukan kejanggalan pada saat pembelajaran. Dan pada saat seperti itulah, kehormatan dan harga diri dipertaruhkan. Semestinya guru terus membangun dirinya agar selalu gemar belajar. Guru sering menasihati anak didik agar belajar sejak ayunan hingga liang lahat. Guru sering memberikan pembinaan kepada anak didik agar bersikap disiplin. Namun, mengapa guru justru enggan belajar lagi? Mengapa guru sudah merasa puas dengan perolehannya saat ini? Mengapa guru tidak merasa malu kepada anak didik karena tidak bersikap konsisten atas ucapannya? Mencari ilmu itu ibarat minum air laut. Tak pernah merasakan puas. Justru pencari ilmu itu digoda dengan ketidaktahuan baru. Ilmu itu seakan semakin tersembunyi dan bersembunyi sehingga pencari ilmu mesti melakukan eksplorasi. Di situlah letak ilmu: takkan bertepi! 

Guru semestinya bersikap konsisten terhadap ucapannya. Jika guru sering menyuruh anak didik agar membaca buku, tentunya guru harus menjadi pembaca buku yang baik. Jika guru sering menyuruh anak didik agar tekun belajar, seharusnya guru pun menjadi pembelajar. Antara ucapan dan perbuatan terjadi kesamaan. Zaman telah berubah ke Industri 4.0 diiringi dengan edukasi 4.0.  Jika guru tidak bisa meng-update dirinya dengan ilmu dan teknologi bisa-bisa digantikan oleh peran media sosial yang lebih digemari oleh kalangan melineal. Peran guru sangatlah penting dalam menjaga akhlak dan budi pekerti sehingga istilah adab lebih tinggi dari ilmu dapat terjaga agar tidak tergerus oleh perkembangan zaman. Salam.##  

Nasib Pendidikan di Tengah Pandemi

Pandemi virus covid-19 benar-benar mengguncang berbagai bidang, tak terkecuali bidang pendidikan. Pemerintah pusat yang didukung oleh kepala daerah membuat kebijakan meniadakan kegiatan belajar mengajar di sekolah dan kampus. Sekolah dan kampus ditutup. Kebijakan ini bertujuan untuk mengurangi mobilitas pelajar dan mahasiswa sehingga diharapkan dapat menekan penyebaran virus corona.

Kebijakan tersebut tentu dapat diterima mengingat untuk kebaikan dan keselamatan warga bangsa, khususnya pelajar. Apalagi penutupan sekolah dan kampus tidak berarti meniadakan kegiatan belajar mengajar, tetapi mengubah kegiatan belajar di sekolah menjadi kegiatan belajar mengajar dari rumah. Pendidik dan peserta didik tetap melaksanakan kegiatan belajar mengajar, tetapi tidak bertatap muka secara langsung. Pembelajaran secara daring pun menjadi pilihan digunakan oleh pendidik.

Dalam pelaksanaannya, kegiatan belajar dari rumah ternyata tidak semudah membalikkan telapak tangan Kemajuan teknologi memang telah menyediakan banyak kemudahan, termasuk menjamurnya aplikasi belajar yang ditawarkan. Bahkan pemerintah juga menggandeng beberapa aplikasi belajar tersebut agar dapat digunakan pelajar secara gratis. Para siswa pun sudah sangat akrab dengan perangkat teknologi sehingga tidak akan kesulitan mengoperasikan aplikasi belajar daring melalui gawai masing-masing. Namun, apakah ketersediaan teknologi menjamin keberhasilan kegiatan belajar dari rumah? Sistem pendidikan online pun tidak mudah. Diperlukan disiplin pribadi untuk belajar secara mandiri, ada fasilitas, dan sumber daya yang mesti disediakan.

Keberhasilan kegiatan belajar dari rumah tentunya tidak hanya bergantung pada kemudahan dan ketersediaan teknologi. Kecanggihan teknologi tidak akan ada artinya tanpa kemampuan pengoperasian yang mumpuni. Dalam hal ini, tentu kita tidak bisa menutup mata bahwa masih banyak guru yang gagap dan belum melek teknologi. Kemampuan mengoperasikan dan mengenal perubahan teknologi guru masih kalah jauh dengan siswanya. Akhirnya terjadi ketimpangan interaksi belajar antara guru dengan siswa. Guru hanya memberi tugas-tugas yang akhirnya justru membuat siswa stress.

Perlu juga dilihat, luasnya wilayah Indonesia menjadikan kondisi siswa dan pendidik juga beragam. Kegiatan belajar dari rumah secara daring sangat bergantung pada perangkat TI yang memadai, seperti komputer, gawai, dan jaringan internet. Bagi pelajar yang tinggal di kota dengan akses internet yang memadai tentu tidak banyak dijumpai kendala. Namun, di daerah terpencil situasinya akan berbeda. Akses koneksi internet tentu tidak mudah didapatkan. Kreativitas guru diuji untuk mengatasi masalah ini. Salah satu contoh, seorang guru di Madura rela mendatangi siswa dari rumah ke rumah untuk melayani belajar siswa. Upaya guru ini tentu patut diapresiasi.

Situasi darurat pandemi covid-19 belum jelas kapan akan berakhir karena kasus positif masih sangat tinggi dalam satu minggu terakhir. Sementara itu, tahun pelajaran baru sudah di depan mata. Pemerintah pun belum akan membuka sekolah-sekolah terutama di zona merah dan zona kuning. Ini berarti kegiatan belajar dari rumah masih akan berlangsung selama beberapa bulan ke depan. Kegiatan belajar dari rumah yang sudah berlangsung mestinya dievaluasi.

Melihat kondisi ini, pemerintah, melalui Kemendikbud, mestinya menyusun kurikulum darurat. Kurikulum darurat dibuat dengan melakukan penyederhanaan kurikulum yang sudah ada. Beban kurikulum dikurangi agar tidak memberatkan siswa. Kurikulum darurat ini nantinya akan menjadi acuan guru untuk melaksanakan kegiatan belajar dari rumah. Dari sisi guru, sebaiknya juga mau meningkatkan kompetensi diri, khususnya dalam pemanfaatan teknologi untuk pembelajaran.

Tentu kita tidak ingin, pandemi covid-19 ini menjadikan generasi kita mengalami kemunduran dalam pendidikan. Kualitas generasi bangsa jangan sampai turun. Untuk itu, diperlukan gotong royong dan upaya yang benar-benar gigih untuk menyelamatkan generasi bangsa.

 

Pancasila dan Kita

Tujuh puluh dua tahun lalu, tepatnya 1 Juni 1945, di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Bung Karno menyampaikan pandangannya tentang fondasi dasar Indonesia Merdeka yang beliau sebut dengan istilah Pancasila sebagai dasar filosofis atau sebagai pandangan hidup bagi Indonesia Merdeka.

Selama tujuh puluh dua tahun perjalanan bangsa, Pancasila telah mengalami berbagai batu ujian dan dinamika sejarah sistem politik, sejak jaman demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, era Orde Baru hingga demokrasi multipartai di era reformasi saat ini. Di setiap zaman, Pancasila harus melewati alur dialektika peradaban yang menguji ketangguhannya sebagai dasar filosofis bangsa Indonesia yang terus berkembang dan tak pernah berhenti di satu titik terminal sejarah.

Situasi dan lingkungan kehidupan bangsa pada tahun 1945 — 72 tahun yang lalu — telah mengalami perubahan yang amat nyata pada saat ini, dan akan terus berubah pada masa yang akan datang. Beberapa perubahan yang bangsa kita alami antara lain:

(1) terjadinya proses globalisasi dalam segala aspeknya;

(2) perkembangan gagasan hak asasi manusia (HAM) yang tidak diimbagi dengan kewajiban asasi manusia (KAM);

(3) lonjakan pemanfaatan teknologi informasi oleh masyarakat, di mana informasi menjadi kekuatan yang amat berpengaruh dalam berbagai aspek kehidupan, tapi juga yang rentan terhadap “manipulasi” informasi dengan segala dampaknya.

Perubahan-perubahan tersebut telah mendorong terjadinya pergeseran nilai yang dialami bangsa Indonesia, sebagaimana terlihat dalam pola hidup masyarakat pada umumnya, termasuk dalam corak perilaku kehidupan politik dan ekonomi yang terjadi saat ini. Dengan terjadinya perubahan tersebut diperlukan reaktualisasi nilai-nilai pancasila agar dapat dijadikan acuan bagi bangsa Indonesia dalam menjawab berbagai persoalan yang dihadapi saat ini dan yang akan datang, baik persoalan yang datang dari dalam maupun dari luar. Belum berhasilnya kita dalam melakukan reaktualisasi nilai-nilai Pancasila tersebut menyebabkan keterasingan Pancasila dari kehidupan nyata bangsa Indonesia.

Terjadinya euphoria reformasi juga berimplikasi pada munculnya ‘amnesia nasional’ tentang pentingnya kehadiran Pancasila sebagai norma dasar yang mampu menjadi payung kebangsaan yang menaungi seluruh warga yang beragam suku bangsa, adat istiadat, budaya, bahasa, agama dan afiliasi politik. Memang, secara formal Pancasila diakui sebagai dasar negara, tetapi tidak lagi dijadikan pilar dalam membangun bangsa yang penuh problematika saat ini.

Pada hari lahir Pancasila 1 Juni 2017 saat ini, perlu digarisbawahi apa yang sudah dikemukakan banyak kalangan yakni perlunya dilakukan reaktualisasi, restorasi atau revitalisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama dalam rangka menghadapi berbagai permasalahan bangsa masa kini dan masa datang. Problema kebangsaan yang dihadapi bangsa Indonesia semakin kompleks, baik dalam skala nasional, regional maupun global, memerlukan solusi yang tepat, terencana dan terarah dengan menjadikan nilai-nilai Pancasila sebagai pemandu arah menuju hari esok Indonesia yang lebih baik. Pancasila seharusnya terus menerus diaktualisasikan dan menjadi jati diri bangsa yang akan mengilhami setiap perilaku kebangsaan dan kenegaraan, dari waktu ke waktu. Tanpa aktualisasi nilai-nilai dasar negara, kita akan kehilangan arah perjalanan bangsa dalam memasuki era globalisasi di berbagai bidang yang kian kompleks dan rumit.

Reaktualisasi Pancasila semakin menemukan relevansinya di tengah menguatnya paham radikalisme, fanatisme kelompok dan kekerasan yang mengatasnamakan agama yang kembali marak beberapa waktu terakhir ini. Saat infrastruktur demokrasi terus dikonsolidasikan, sikap intoleransi dan kecenderungan mempergunakan kekerasan dalam menyelesaikan perbedaan, apalagi mengatasnamakan agama, menjadi kontraproduktif bagi perjalanan bangsa yang multikultural ini. Fenomena fanatisme kelompok, penolakan terhadap kemajemukan dan tindakan teror kekerasan tersebut menunjukkan bahwa obsesi membangun budaya demokrasi yang beradab, etis dan eksotis serta menjunjung tinggi keberagaman dan menghargai perbedaan masih jauh dari kenyataan.

Krisis ini terjadi karena luruhnya kesadaran akan keragaman dan hilangnya ruang publik sebagai ajang negosiasi dan ruang pertukaran komunikasi bersama atas dasar solidaritas warganegara. Demokrasi kemudian hanya menjadi jalur antara bagi hadirnya pengukuhan egoisme kelompok dan partisipasi politik atas nama pengedepanan politik komunal dan pengabaian terhadap hak-hak sipil warganegara serta pelecehan terhadap supremasi hukum. Dalam perspektif itulah, reaktualisasi Pancasila diperlukan untuk memperkuat paham kebangsaan kita yang majemuk dan memberikan jawaban atas sebuah pertanyaan akan dibawa ke mana biduk peradaban bangsa ini berlayar di tengah lautan zaman yang penuh tantangan dan ketidakpastian?

Reaktualisasi Pancasila juga mencakup upaya yang serius dari seluruh komponen bangsa untuk menjadikan Pancasila sebagai sebuah visi yang menuntun perjalanan bangsa di masa datang sehingga memposisikan Pancasila menjadi solusi atas berbagai macam persoalan bangsa. Melalui reaktualisasi Pancasila, dasar negara itu akan ditempatkan dalam kesadaran baru, semangat baru dan paradigma baru dalam dinamika perubahan sosial politik masyarakat Indonesia.

Dengan membumikan nilai-nilai Pancasila dalam keseharian kita, seperti nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai permusyawaratan dan keadilan sosial, bangsa ini akan dapat meraih kejayaan di masa depan.  Aktualisasi nilai-nilai Pancasila harus menjadi gerakan nasional yang terencana dengan baik sehingga tidak menjadi slogan politik yang tidak ada implementasinya. Nilai-nilai itu harus diinternalisasikan dalam sanubari bangsa sehingga Pancasila hidup dan berkembang di seluruh pelosok nusantara. Dengan demikian, meskipun berbeda suku, agama, adat istiadat dan afiliasi politik, kalau kita mau bekerja keras kita akan menjadi bangsa besar yang kuat dan maju di masa yang akan datang.

Saya Indonesia, Saya Pancasila !!!

Pendidikan yang Humanis dari Anies Baswedan

Anies Baswedan memang kini tak lagi menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan setelah Presiden Jokowi melakukan reshuffle kabinetnya pada 27 Juli 2016 lalu. Banyak pihak yang kaget dan tidak menduga, karena menganggap menteri yang berpenampilan selalu santun dan murah senyum ini sudah tepat menjalankan tugas dan fungsinya di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Tetapi, itulah kenyataannya. Menteri baru telah ditunjuk Presiden Jokowi untuk menggantikan posisinya.

Selama 20 bulan masa kepemimpinannya di Kemendikbud, sesungguhnya ada berbagai terobosan dan gebrakan yang dilakukan Anies. Yang paling banyak dirasakan oleh masyarakat adalah upaya Anies Baswedan dalam mewujudkan pendidikan yang memanusiakan manusia atau pendidikan yang humanis. Anies mencoba mengembalikan ruh kemanusiaan dalam jiwa pendidikan nasional. Anies memandang bahwa pendidikan yang baik adalah pendidikan yang memanusiakan manusia, baik dari sisi guru maupun peserta didiknya.

Tentu kita belum lupa, salah satu hal yang lekat dengan Anies Baswedan adalah semangatnya membumikan kembali ajaran Ki Hajar Dewantara. Dikatakannya, bahwa para guru harus belajar dari filosofi yang digagas bapak pendidikan Ki Hajar Dewantara, menamakan lembaga pendidikannya Taman Siswa yaitu tempat yang penuh kebahagian dan menyenangkan karena anak butuh bermain. Pendidikan di Indonesia harus adiktif atau membuat anak ketagihan ingin kembali belajar. Karena kita akan senang kalau anak mengatakan semoga besok cepat datang agar bisa ke sekolah, bukan berkata semoga besok sekolah tidak ada. Sebuah sekolah – apapun bentuknya – seharusnya mampu membentuk akal dan budi manusia agar menjadi insan-insan yang luhur dan efektif, serta bermakna bagi lingkungannya.

Dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang humanis, Anies juga mengusung sekolah berintegritas. Hal ini didorong oleh keprihatinannya melihat ketidakjujuran di lingkungan sekolah, khususnya berkaitan dengan Ujian Nasional. UN yang selama ini menjadi penentu kelulusan telah menciptakan berbagai ekses. Yang paling menonjol tentunya mendorong ketidakjujuran. Anies berupaya mengembalikan UN pada kedudukan dan fungsinya, yaitu memotret capaian pendidikan yang sesungguhnya. Dan, pada masa jabatannya, Anies menghapus syarat UN sebagai penentu kelulusan. Ia mengusung indeks integritas Ujian Nasional (IIUN) sebagai parameter yang membanggakan sekolah dan daerah. Sekolah dengan IIUN tinggi diberi piagam sebagai bukti bahwa sekolah itu berikhtiar menjunjung kejujuran dalam penyelenggaraan UN.

Dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang maju, Anies juga membentuk Direktorat Pendidikan Keluarga. Hal ini dimaksudkan bahwa keluarga juga harus turut bertanggung jawab atas keberhasilan pendididkan putra putrinya. Bahkan Anies juga membuat gebrakan mengenai kewajiban orangtua untuk mengantar anaknya pada hari pertama masuk sekolah.

Anies juga mencanangkan Gerakan Penumbuhan Budi Pekerti. Hal ini didorong oleh keinginannya untuk membangun dan memperbaiki moral bangsa yang saat ini banyak terdegradasi oleh pengaruh-pengaruh negatif, baik dari dalam mupun luar negeri. Meski pendidikan karakter ini bukan hal baru, tetapi Anies lebih menekankannya sebagai gerakan sehingga hingar bingarnya cukup terasa. Khususnya, mengenai karakter nasionalisme Anies mewajibkan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya sebelum memulai pelajaran.

Menjelang akhir masa jabatannya, Anies mencanangkan masa orientasi peserta didik baru yang bebas dari kekerasan. Hal ini mendapat sambutan positif dari berbagai pihak, terutama orangtua. Masa orientasi peserta didik baru selama ini menjadi ajang perploncoan senior kepada yuniornya. Bibit-bibit kekerasan sering muncul pada kegiatan tersebut. Hal ini akan terus terjadi jika rantai tidak diputus.

Khusus bagi guru, Anies menempatkan guru sebagai sosok yang mulia karena guru adalah ujung tombak pendidikan. Dalam berbagai kesempatan Anies terus memotivasi dan memompa semangat guru untuk secara total mengabdi mencerdaskan anak-anak bangsa. Anies mengatakan bahwa menjadi guru bukanlah sekadar pekerjaan, melainkan pelukis masa depan. Menjadi guru bukanlah pengorbanan, melainkan sebuah penghormatan. Guru adalah pembuat sejarah, dan sebagainya. Anies juga mendorong guru untuk selalu berkarya, guru mulia karena karya. Karya guru yang paling Nampak adalah terciptanya generasi muda bangsa yang cerdas dan berkarakter mulia.

Hal-hal yang dilakukan oleh Anies adalah upayanya dalam menciptakan pendidikan humanistik, yaitu pendidikan yang berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan. Nilai inilah yang saat ini banyak tercerabut dalam jiwa bangsa Indonesia. Dengan gayanya yang khas, Anies selalu mengingatkan untuk memanusiakan peserta didik dan memanusiakan guru. Pendidikan humanistik adalah sebuah konsep pendidikan yang berupaya menyentuh hati manusia sebagai upaya untuk menanamkan karakter atau budi pekerti yang baik. Hati hanya bisa disentuh dengan hati, dan ketulusan hati seorang guru dalam mengajar akan sangat berdampak terhadap perkembangan belajar peserta didik.

Kini, Anies Baswedan memang tak lagi menjabat sebagai Mendikbud. Namun, upaya-upaya berharga yang telah dirintisnya ada baiknya untuk terus dilanjutkan demi mewujudkan pendidikan nasional yang bermartabat.