Mudik

Hari Raya Idul Fitri tinggal beberapa hari lagi. Setiap menjelang Idul Fitri, hidup menemani orangtua yang lanjut usia selalu ada cerita tersendiri yang mungkin tak pernah diketahui apalagi dimiliki oleh saudara-saudara atau kawan-kawan yang hidup merantau

Para orang tua seperti memiliki beribu cerita baru yang perlu segera disampaikan tentang anak-anaknya yang pergi merantau. Bercerita tentang anaknya adalah sebuah energi tersendiri. Badan dan jiwanya seperti teraliri kekuatan baru. Mata mereka yang berbinar adalah refleksi dari dunia yang selalu dirindukan. Dan dunia itu adalah anak-anaknya.

Dering panggilan dari anaknya yang berada di perantauan adalah sebuah lonceng merdu yang menggugah jiwanya. Mereka menunggu janji kepulangan anak-anaknya. Mereka membiarkan dirinya menanti dan menyemai harapan bahwa lusa akan didengarkan suara  merdu anaknya yang sangat dirindukan. Mereka menunggu karena tidak ingin mengganggu anak-anaknya.

Mereka menanti dalam diam. Mereka menanti bersama sepi dinding-dinding kamar tidurnya. Mereka menanti rumahnya kembali pecah oleh teriakan dan riuh tawa. Mereka menanti dengan hening, supaya kepulangan anaknya terdengar oleh telinganya yang menua pada kesempatan pertama.

Kalaupun sudah mendapat kabar akan kepulangan buah-hatinya, ia akan bercerita kepada setiap orang yang disuanya. Ia ingin bercerita kepada setiap kerabatnya bahwa buah hatinya akan kembali dipeluknya dalam kerinduan yang tidak pernah mampu terceritakan dalam jumlah kata mereka yang selalu terbatas.

Kalaupun belum ada kabar, ia selalu mengatakan kepada dirinya betapa buah hatinya sedang sibuk. Betapa buah hatinya sedang repot. Betapa buah hatinya sedang memiliki banyak hal untuk diselesaikan. Dan ia meletakkan asa pada lusa. Bahwa lusa ia akan menatap bangga buah hatinya yang tidak saja sudah mengisi hatinya, tetapi juga memenuh-sesaki jiwanya.

Kawan, jika memang saat ini kau sedang memiliki sangat banyak dalih untuk tidak mudik hari ini, mudiklah besok. Atau lusa. Karena mereka sedang menunggumu dalam diam. Pulanglah sebentar, peluklah pundaknya yang sudah tidak seperkasa dulu ketika kamu berteriak riang memanjatnya. Pulanglah sebentar untuk menatap matanya yang dulu selalu bangga menatapmu. Pulanglah sebentar untuk menatap matanya yang dulu selalu khawatir ketika kau nakal. Pulanglah sebentar untuk memeluk tubuhnya yang selalu bereaksi panik ketika kau sedang tidak sehat. Mungkin ia tidak pandai bercerita tentang hatinya: betapa ia sangat bangga kepadamu!

Ia tidak membutuhkan makanan-makanan pabrikan tanpa tanggal kadaluwarsa yang berkardus-kardus kamu bawa. Ia tidak peduli kendaraan yang kamu naiki. Bahkan ia pasti juga tidak peduli warna pakaian apa yang kamu pakai. Karena baginya, kamu bukan hanya manusia fisik, kamu adalah manusia rohaninya!

Ia hanya membutuhkan hadirmu. Ia hanya membutuhkan pelukanmu. Ia hanya ingin kembali menatapmu. Ia hanya ingin kembali mendengar ceritamu yang bahkan tidak dipahaminya.

Pada akhirnya, mudik bukanlah ritual tahunan semata. Mudik itu pulang. Pulang menemui keluarga tercinta, pulang merawat cinta yang tak terkata.

Selamat menyambut Idul Fitri 1 Syawal 1438 H, mohon maaf lahir dan batin ..,
Salam

Idul Fitri dalam Puisi

IDUL FITRIIdul Fitri merupakan salah satu hari besar umat muslim yang jatuh setiap tanggal 1 Syawal. Idul Fitri dirayakan setelah satu bulan penuh umat muslim melaksanakan ibadah puasa selama bulan Ramadhan. Idul Fitri sendiri seringkali dimaknai sebagai kembalinya seorang manusia kepada fitrah kesucian setelah diuji selama Ramadhan untuk senantiasa mengendalikan diri dan hawa nafsunya, dari makan, minum, serta berbagai bentuk keserakahan lainnya. Oleh karena itu, Idul Fitri juga dikenal sebagai hari kemenangan, kemenangan dalam memerangi hawa nafsu.

Perayaan Idul Fitri yang bermakna dengan kembali kepada kesucian seringkali juga diwarnai dengan kegiatan umat manusia untuk meminta maaf kepada sesama. Dengan saling meminta maaf, manusia menjadi suci, bersih, tak ternoda oleh kesalahan terhadap sesama manusia. Oleh karena itu, hari raya Idul Fitri sering juga disebut sebagai hari Lebaran, meleburkan segala kesalahan.

Ada beragam cara yang dilakukan manusia untuk memaknai Idul Fitri, di antaranya melalui puisi. Penyair atau pengarang puisi memiliki pengalaman religius yang beragam untuk dituangkan dalam puisi-puisinya. Para penyair pun mencoba melihat Idul Fitri dari sudut pandang yang beragam pula. Berikut ini beberapa puisi bertema Idul Fitri atau Lebaran dari beberapa penyair terkemuka Indonesia.

Malam Lebaran karya Sitor Situmorang

Puisi ini barangkali merupakan puisi Lebaran paling fenomenal. Mengingat puisi ini sangat pendek, hanya terdiri dari satu kalimat yang di susun dalam dua baris

MALAM LEBARAN

Bulan
di atas kuburan

Jejak imajinasi Lebaran yang dituliskan Sitor Situmorang dalam puisi “Malam Lebaran” (1954) di atas kerap membuat kerepotan dalam interpretasi. Pembaca dan bahkan kritikus sastra repot untuk membaca dan menilai puisi “Malam Lebaran” karena konstruksi teks pendek dan simbolis. Puisi itu hadir dalam sebuah kalimat pendek: Bulan di atas kuburan. Lebaran memberi kesadaran bahwa hidup dan mati manusia memiliki sekian simbol dan interpretasi. Lebaran mungkin menjadi titik penting untuk kembali membaca dan menilai manusia. Atau bisa juga diinterpretasikan sebagai kedukaan seseorang (atau sebagian orang) ketika merayakan Lebaran.

Perdebatan mengenai puisi ini juga menyangkut masalah keberadaan bulan di malam lebaran. Sebagaimana kita ketahui bahwa lebaran selalu jatuh pada tanggal 1 Syawal yang pada tanggal ini keberadaan bulan tentu tidak kelihatan. Jadi bagaimana bisa ada bulan di atas kuburan pada malam lebaran? Namun demikian, sebagai sebuah karya sastra tentunya semua kembali pada imajinasi pengarangnya dan interpretasi pembacanya.

Selamat Idul Fitri karya A. Mustofa Bisri (Gus Mus)

  SELAMAT IDUL FITRI

Selamat idul fitri, bumi
Maafkanlah kami
Selama ini
Tidak semena-mena
Kami memperkosamu
 
Selamat idul fitri, langit
Maafkanlah kami
Selama ini
Tidak henti-hentinya
Kami mengelabukanmu
 
Selamat idul fitri, mentari
Maafkanlah kami
Selama ini
Tidak bosan-bosan
Kami mengaburkanmu
 
Selamat idul fitri, laut
Maafkanlah kami
Selama ini
Kami mengeruhkanmu
 
Selamat idul fitri, burung-burung
Maafkanlah kami
Selama ini
Memberangusmu
 
Selamat idul fitri, tetumbuhan
Maafkanlah kami
Selama ini
Tidak puas-puas
Kami menebasmu
 
Selamat idul fitri, para pemimpin
Maafkanlah kami
Selama ini
Tidak habis-habis
Kami membiarkanmu
 
Selamat idul fitri, rakyat
Maafkanlah kami
Selama ini
Tidak sudah-sudah
Kami mempergunakanmu.
 

A. Mustofa Bisri atau yang juga dikenal dengan Gus Mus, merupakan salah satu penyair Indonesia. Karya-karyanya cukup banyak dan beragam. Puisi “Selamat Idul Fitri” tersebut menggunakan bahasa sehari-hari yang sederhana sehingga mudah dipahami oleh pembacanya. Ciri-cirinya dapat diperhatikan pada bahasa konotatif dan bersifat referensional atau ada rujukan di dunia nyata pada puisi tersebut. Puisi ini termasuk “Puisi Bebas” karena tidak memiliki rima. Meskipun di puisi ini tidak memiliki rima tetapi puisi ini memiliki nada yang begitu dalam dari setiap diksinya. Hal pertama dan yang paling terlihat dalam puisi ini adanya repetisi yang digunakan penyair dari awal sampai akhir puisi, yang cukup memberikan efek tersendiri dan menekankan sesuatu yang ingin Gus Mus sampaikan.

Hal utama yang ingin disampaikan Gus Mus melalui puisi “Selamat Idul Fitri” tersebut adalah kerendahan hati seorang manusia untuk meminta maaf kepada “semua” atas kesalahan yang pernah diperbuatnya sebagai bentuk upaya kembalinya manusia tersebut kepada kesucian “fitrah” yang merupakan hakikat Idul Fitri sesungguhnya.

Idul Fitri karya Sutardji Calzoum Bachri

Sutardji Calzoum Bachri merupakan salah satu penyair sufi Indonesia terkemuka. Ia juga kita kenal sebagai cerpenis, eseis dan budayawan. Lahir di Rengat Riau 24 Juni 1941, ia terkenal sejak awal 1970-an tatkala mengumumkan Kredo Puisi-nya (1973) “kata harus dibebaskan dari beban pengertian”  yang mendasari sebagian besar dari puisi-puisi  ciptaannya. Kredo puisi Sutardji pada masa itu  serta-merta menimbulkan kontroversi dalam kesusastraan Indonesia.

Kumpulan puisi Sutardji diantaranya O (1973), Amuk (1979), dan O Amuk Kapak (1981). Pada puisi-puisinya O dan Amuk, tertangkap kesan adanya semangat awal Sutardji dalam pencarian Sang Maha Penyair. Kecenderungan sufistiknya sangat nampak pada kumpulan puisi ketiganya O Amuk Kapak.

Tanpa kita perlu berpanjang-panjang, marilah kita menyelami pengakuan masa-masa kelam Sutardji Calzoum Bachri dan pertobatannya dalam puisi Idul Fitri. Puisi ini diciptakan pada 1987. Selengkapnya:

IDUL FITRI

Lihat
Pedang taubat ini menebas-nebas hati
dari masa lampau yang lalai dan sia-sia
Telah kulaksanakan puasa Ramadhanku
telah kutegakkan shalat malam
telah kuuntai wirid tiap malam dan siang
telah kuhamparkan sajadahku
yang tak hanya nuju Ka’bah
tapi ikhlas mencapai hati dan darah
Dan di malam Qadar aku pun menunggu
Namun tak bersua Jibril atau malaikat lainnya

Maka aku girang-girangkan hatiku
Aku bilang :
Tardji, rindu yang kau wudhukkan setiap malam
Belumlah cukup untuk menggerakkan Dia datang
namun si bandel Tardji ini sekali merindu
Takkan pernah melupa
Takkan kulupa janjiNya
Bagi yang merindu insya-Allah kan ada mustajab cinta

Maka walau tak jumpa denganNya
shalat dan zikir yang telah membasuh jiwaku ini
Semakin mendekatkan aku padaNya
Dan semakin dekat
Semakin terasa kesiasiaan pada usia lama yang lalai berlupa

O lihat Tuhan, kini si bekas pemabuk ini
ngebut
di jalan lurus
Jangan Kau depakkan lagi aku ke trotoir
tempat usia lalaiku menenggak arak di warung dunia
Kini biarkan aku menenggak arak cahayaMu
di ujung sisa usia

O usia lalai yang berkepanjangan
yang menyebabkan aku kini ngebut di jalan lurus
Tuhan jangan Kau depakkan lagi aku di trotoir
tempat dulu aku menenggak arak di warung dunia

Maka pagi ini
kukenakan zirah la ilaha illallah
aku pakai sepatu siratul mustaqiem
akupun lurus menuju lapangan tempat shalat ied
Aku bawa masjid dalam diriku
Kuhamparkan di lapangan
Kutegakkan shalat
dan kurayakan kelahiran kembali
di sana

Sutardji Calzoum Bachri, 1987

Menyimak dan menyelami puisi Idul Fitri Sutardji Calzoum Bachri di atas, tentunya kita sepakat bahwa proses “penyucian jiwa” setiap individu berbeda-beda kadarnya, sebagaimana dialami Sutardji. Namun, sangat dimungkinkan setiap individu mengalami kelahiran kembali dirinya sebagai manusia (dengan fitrah  awalnya). Jalan ke arah itu, bagaikan tengah memasuki sebuah rumah dengan sederet pintu-pintu rahasia di dalamnya. Guna mendapatkan ridha-Nya, tugas kita yakni menemukan kunci pembuka pintu rahasia tersebut.

Penyair, kata Sutardji, bukan penyaksi kejadian yang lalu-lalang di hadapan mata inderanya. Dia adalah penyaksi kebenaran hakiki, yang merupakan pusat dari kehidupan. Puisi adalah ungkapan dari sebuah perjalanan spiritual menuju ke lubuk rahasia-rahasia. Jika sudah sampai kepada yang rahasia, ia akan mengalami pencerahan dan karenanya akan mengalami kebangunan diri kembali.

Demikianlah beberapa puisi Idul Fitri atau Lebaran yang bisa ditampilkan. Tentunya masih banyak puisi-puisi bertema Idul Fitri atau Lebaran lainnya. Bahkan akhir-akhir ini muncul juga fenomena memberikan ucapan selamat Idul Fitri atau Lebaran dalam bentuk puisi. Hal ini menunjukkan bahwa Idul Fitri atau Lebaran telah menjadi perayaan estetika untuk mengungkapkan religiositas penulisnya. Salam.##