Menyelami Kultur Masyarakat Nias melalui Fiksi

Judul Buku          : MANUSIA LANGIT
Pengarang            : J.A. Sonjaya
Penerbit                : Penerbit Buku Kompas
Tahun Terbit      : September 2010
Tebal Halaman  : vii + 210 halaman
Harga                     : Rp 38.000

Di tengah hiruk-pikuk kehidupan yang sudah modern, masyarakat mulai meninggalkan nilai-nilai luhur nenek moyang yang disebut dengan kebudayaan. Nilai-nilai kearifan lokal kian terkikis seiring dengan perkembangan zaman dan minimnya sosialisasi kebudayaan kepada generasi saat ini yang cenderung mengalami gagap budaya. Pengenalan dan pelestarian budaya merupakan hal penting yang harus terus diupayakan dengan berbagai cara.

Adalah J.A. Sonjaya melalui novelnya Manusia Langit ini ingin menghadirkan salah satu wajah budaya Indonesia, yaitu kehidupan masyarakat di Pulau Nias. Sebagai seorang akademikus, J.A. Sonjaya mengajak pembaca menyelami kultur Nias yang tentu saja banyak pembaca yang belum mengetahuinya. Ya, novel ini memang banyak mengupas tentang budaya Nias. Bahkan, pada sampul depan ditegaskan pula dengan kalimat: Sebuah Novel Etnografis, yang membuat calon pembaca semakin penasaran.

Cerita berkisah tentang tokoh Mahendra, seorang arkeolog muda, berusaha melepaskan diri dari kungkungan peradaban kampus. Ia kabur ke Banuaha, sebuah kampung di pedalaman Pulau Nias, yang diyakini penduduk aslinya sebagai tempat turunnya manusia dari langit. Di sana ia banyak belajar soal persamaan dan perbedaan antara dua dunia: dunia kampus di Yogyakarta dan dunia orang Nias di Banuaha. Persamaan dan perbadaan yang menyangkut prinsip hidup – mati, harga diri, pesta, juga soal perempuan.

Secara eksplisit, novel Manusia Langit menerangkan fakta sejarah (historis) dan budaya (etnolografi) yang diramu dalam bentuk fiksi menjadi sebuah buku yang sangat eksentrik. Tidak semua penulis bisa menyajikan fakta etnografi menjadi sebuah fiksi yang cukup memikat. Novel Manusia Langit menyajikan keindahan dan kehidupan adat Nias yang sesungguhnya. Kisah cinta antara Mahendra dan Yasmin menjadi bumbu pelengkap dari sebuah novel Manusia Langit sehingga jalan ceritanya tidak melulu pada sebuah fakta sejarah dan budaya yang akan membuat pembaca semakin bosan.

Di sinilah J A Sonjaya begitu piawi dalam menyambungkan kisah cinta Mahendra dan Yasmin dengan sebuah etnografi yang kaya akan nilai-nilai luhur, sehingga jalan ceritanya cukup menyentuh. Hal itu bisa dilihat bagaimana Yasmin mengakhiri hidupnya dengan janin yang dikandungnya hanya untuk melindungi sebuah harga diri. Harga diri keluarga dan harga diri orang-orang di sekelilingnya, termasuk Mahendra (hlm: 64). Sama halnya dengan bagaimana orang-orang Banuaha mempertahankan harga dirinya dengan mengorbankan harta yang dimilikinya.

Tidak hanya itu, di sini, pembaca akan disuguhkan bagaimana sebuah harga diri yang berlaku di masyarakat adat Nias begitu memiliki “nilai paten”. Bahkan karena harga diri apapun yang terjadi akan dilakukan untuk meningkatkan harga diri seperti melakukan pesta yang menjadi sebuah ‘kewajiban’ masyarakat setempat dengan memotong lebih dari 10 ekor babi. Atau seorang pemuda yang hendak menikah harus mempersiapkan minimal 12 babi sebagai persembahan dalam pesta perkawinan ataupun upacara sakral lainnya (hlm: 124). Semua itu hanya untuk harga diri agar tidak jatuh di masyarakat.

J.A. Sonjaya berhasil memotret setiap jengkal kehidupan masyarakat tradisional di Nias berikut kekayaan mitologisnya yang kerap disalahpahami oleh rasionalitas manusia modern. Ia juga cukup lihai menyajikan hasil jepretannya itu sebagai laporan etnografi kenestapaan bangsa “langitan” yang terlalu nikmat hidup dalam “kelangitannya”. Sehingga mereka gagal mengarifi eksotika alam, tradisi, dan budayanya.

Novel Manusia Langit sungguh unik karena memperlihatkan sejarah kebudayaan masyarakat Nias yang hingga kini masih dilakukan. Tidak hanya itu, novel Manusia Langit membuka khasanah kebudayaan dan tradisi yang melekat di Nias dengan berbagai karakter. Novel ini membawa pembaca pada kehidupan masyarakat Nias yang masih menyimpan nilai-nilai kearifan lokal. Tidak hanya Nias sebenarnya, hampir semua daerah masih menyimpan kearifan lokal. Bali Misalnya yang masih memegang tradisi Ngaben hingga saat ini.

Sebagai novel etnografis yang belum banyak tandingannya, Manusia Langit layak untuk diapresiasi. Novel Manusia Langit sangat layak dibaca bagi siapa saja yang ingin mengetahui nilai-nilai budaya di Nias dengan tidak “sok menggurui”. Novel Manusia Langit memberikan khasanah keindahan budaya. Nilai-nilai budaya yang terkemas dalam Novel Manusia Langit merupakan bagian dari kearifan lokal yang masih dipertahankan masyarakat sekitar. Romantisme dan haru-biru kisah cinta antara sepasang manusia yang memiliki perbedaan prinsip menambah nilai plus dalam novel ini.

Pada akhirnya, fiksi tetaplah bermuara pada imajinasi si pengarang. Fiksi bukanlah fakta, namun setidaknya melalui Manusia Langit, pembaca tak hanya disuguhkan dengan keindahan narasi yang membentuk cerita. Namun, banyak hal menarik yang ditemukan setelah membaca novel ini. Selamat membaca!

12 responses to “Menyelami Kultur Masyarakat Nias melalui Fiksi

    • barangkali memang sudah banyak novel yang menggunakan latar dan menggambarkan sisi budaya daerah negeri kita. tapi untuk budaya Nias mungkin baru kali ini. jadi, novel ini sangat sayang untuk dilewatkan. karena selain jalan ceritanya yang menarik, juga menambah wawasan kita tentang budaya bangsa kita, khususnya daerah Nias.

    • ya, banyak…
      mulai dari masalah mitos, hubungan kekerabatan, harga diri yang harus dijunjung tinggi, dan masih banyak lagi. kalau belum bisa ke luar Jawa, ya belajar saja dari membaca-baca …

    • novel-novel yang mengangkat atau berlatar belakang budaya Indonesia seperti ini memang sangat bermanfaat untuk membuka wawasan pembaca mengenai keberagaman budaya yang ada di Indonesia. Di samping itu, juga menambah kecintaan masyarakat pemilik budaya kepada daerahnya, seperti yang Anda rasakan. Salam.

Tinggalkan Balasan ke bekti patria Batalkan balasan